Penulis Partikelir, Menikmati hidup dengan Ngaji, Ngopi dan Literasi

Diplomasi Teh Hangat: Ketika Politik Bertemu Peradaban

Minggu, 13 April 2025 17:59 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Silaturahim Presiden Prabowo dan Megawati
Iklan

Indonesia tidak butuh pemimpin yang serba tahu. Ia butuh pemimpin yang mau mendengar. Dan teh, dalam kesederhanaannya, mengajarkan itu

***

Di sebuah sore yang adem, di tengah riuh politik yang kadang memanas seperti wajan penggorengan tanpa minyak, dua tokoh besar negeri ini duduk bersama. Tak ada podium. Tak ada kamera live-streaming. Hanya secangkir teh hangat, mungkin melati atau teh tubruk, yang mengantar percakapan antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sederhana, tapi penuh makna.

Momen ini mungkin bukan pertama kalinya mereka bersua dalam suasana adem. Namun, dalam konteks Indonesia pasca-Pemilu 2024, pertemuan itu terasa istimewa. Prabowo, sang presiden terpilih, dan Megawati, ketua umum partai dengan sejarah panjang dan pengaruh besar dalam panggung politik nasional, bukan sekadar bersalaman. Mereka menyeduh masa depan, menuang harapan dalam percakapan, satu tegukan demi tegukan.

 

Teh Sebagai Simbol Diplomasi

 

Mari kita mulai dari tehnya. Dalam budaya Asia, teh bukan sekadar minuman. Ia adalah simbol keramahan, ketulusan, dan dialog. Di Jepang, upacara minum teh adalah bentuk seni spiritual. Di Tiongkok, teh menjadi pembuka pembicaraan bisnis maupun penyelesaian konflik. Di Indonesia? Teh hangat kerap menjadi pelengkap obrolan santai di beranda rumah, juga saksi banyak kesepakatan penting di ruang-ruang politik.

 

Jadi, ketika Prabowo dan Megawati duduk bersama dengan teh di tangan, itu bukan pertemuan basa-basi. Itu sinyal bahwa politik Indonesia sedang mencoba kembali ke jalur peradaban: mendengar, berbicara, dan mencari titik temu. Sesederhana itu. Sesederhana teh.

 

Melampaui Ego, Meracik Masa Depan

 

Pertemuan keduanya juga menggambarkan kedewasaan politik yang jarang kita saksikan secara terang-terangan. Di negara yang demokrasi elektoralnya sering lebih mirip pertandingan sepak bola antar-kampung—penuh teriakan, fanatisme, dan kadang lupa aturan main—melihat dua rival politik duduk bersama adalah oasis yang menyegarkan.

 

Megawati dan Prabowo punya sejarah panjang. Mereka pernah berada di kubu yang sama, lalu berpisah, saling berhadapan dalam kontestasi, dan kini… duduk satu meja lagi. Bukan untuk bertengkar soal kursi, tapi bicara soal bangsa: tentang pangan, tentang anak-anak stunting di pelosok, tentang lingkungan yang makin ringkih, dan tentu saja tentang masa depan demokrasi yang lebih inklusif.

 

Apakah ini rekonsiliasi? Mungkin. Tapi lebih dari itu, ini adalah pelajaran: bahwa ego bisa diredam, bahwa negara harus didahulukan, bahwa politik bukan cuma soal menang dan kalah, tapi soal menyelamatkan kapal besar bernama Indonesia dari badai ketimpangan dan ketidakpastian global.

 

Apa yang Mereka Bahas?

 

Kita tentu tak tahu pasti isi percakapan mereka. Tapi mari bermain imajinasi yang masuk akal—karena imajinasi sering kali jadi awal perubahan.

 

Barangkali Megawati mengingatkan Prabowo soal pentingnya membangun kedaulatan pangan yang tak cuma berbasis proyek raksasa, tapi juga membumi, memberdayakan petani kecil. Ia mungkin bicara tentang pentingnya menjaga kedaulatan energi, bukan semata urusan investasi asing, tapi juga bagaimana masyarakat bisa mandiri secara energi—dari biogas desa hingga panel surya atap rumah.

 

Sementara Prabowo, dengan napas nasionalismenya yang khas, mungkin mengajak untuk memperkuat pertahanan bangsa, bukan sekadar lewat senjata, tapi melalui pendidikan karakter anak muda yang cinta tanah air, bukan cinta sensasi TikTok.

 

Dan tentu, keduanya—dengan latar belakang sebagai orang tua dan kakek-nenek—pasti bicara tentang masa depan generasi muda: bagaimana membangun pendidikan yang bukan cuma mengejar ranking, tapi membentuk manusia yang utuh, adil, beradab, dan siap menghadapi dunia yang berubah cepat.

 

Diplomasi Teh dan Harapan Kita

 

Diplomasi secangkir teh ini adalah oase di tengah kegaduhan politik transaksional. Ia memberi contoh bahwa politik tidak harus selalu gaduh, tidak selalu soal saling sikut, tidak melulu berujung di meja KPK atau headline infotainment politik.

 

Bayangkan jika lebih banyak politisi kita minum teh bersama, mendengar sebelum bicara, menyimak sebelum menyanggah, mencari solusi sebelum cari sensasi. Mungkin negeri ini tak akan selalu panas seperti grup WhatsApp keluarga menjelang lebaran.

 

Dan bagi rakyat? Diplomasi teh ini memberi harapan. Bahwa di antara semua drama demokrasi yang kadang membosankan dan memuakkan, masih ada momen-momen manusiawi, hangat, dan penuh niat baik. Bahwa masih ada ruang untuk masa depan yang ditulis dengan akal sehat dan hati nurani.

 

Penutup: Secangkir Teh untuk Republik

 

Indonesia tidak butuh pemimpin yang serba tahu. Ia butuh pemimpin yang mau mendengar. Dan teh, dalam kesederhanaannya, mengajarkan itu. Ia tak keras seperti kopi, tak dingin seperti soda, tapi hangat dan tenang. Seperti bangsa ini seharusnya.

 

Jadi, jika ada satu pelajaran dari pertemuan Prabowo dan Megawati yang bisa kita petik, mungkin ini: bahwa dalam politik, seperti juga dalam hidup, kadang yang paling dibutuhkan bukan pidato, tapi secangkir teh hangat dan keinginan tulus untuk duduk bersama.

 

Dan siapa tahu, dari obrolan kecil di balik cangkir teh itu, lahir keputusan-keputusan besar yang membawa kita menuju Indonesia yang lebih adil, sejahtera, dan beradab.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Choirul Anam

Penulis Indonesiana

2 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler